Jumat, 9 Agustus 2024, mahasiswa dan mahasiswi Program Studi Hukum Keluarga Islam dengan penuh antusias mengikuti kelas Kitab Kuning Fathul Qarib. Kegiatan yang berlangsung di rumah kediaman salah satu dosen Prodi HKI UIN STS Jambi ini dipandu oleh Muhammad Sibawaihi, M.H. Sesi ini menjadi kesempatan berharga bagi para peserta untuk memperdalam pemahaman mereka mengenai hukum nikah dalam Islam, yang tidak hanya mencakup aspek hukum tetapi juga hikmah di balik kebijakan-kebijakan syariat.
Muhammad Sibawaihi, M.H., membuka kelas dengan penjelasan tentang hukum nikah yang tidak bersifat seragam, melainkan sangat bergantung pada kondisi individu yang hendak menikah. Beliau menguraikan lima kategori hukum nikah: Wajib, Sunah, Makruh, Mubah, dan Haram. Dalam kitab Qurratul ‘Uyun disebutkan bahwa hukum menikah berbeda antara satu dengan lainnya, tergantung pada kondisi orang yang hendak melakukannya. Berikut hukum menikah dalam Islam sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing orang.
Pertama, wajib. Menikah menjadi wajib apabila dalam diri seseorang sudah terpenuhi dua hal berikut: pertama, khawatir jatuh ke dalam perbuatan zina; dan kedua, sudah mampu secara materi dan finansial. Jika dalam diri seseorang sudah terpenuhi dua hal tersebut, maka dia sudah wajib hukumnya menikah.
Kedua, sunah. Disunahkan menikah bagi seseorang yang sudah mampu secara materi dan finansial, namun dirinya tidak khawatir jatuh pada perbuatan zina. Dia masih bisa mengendalikan syahwatnya untuk tidak berbuat zina. Baginya, disunahkan untuk segera menikah agar bisa menyempurnakan separuh agamanya.
Ketiga, makruh. Bagi seseorang yang belum punya penghasilan sama sekali dan dirinya bisa menahan diri dari perbuatan zina, maka hukumnya makruh baginya untuk menikah. Suami bertanggung jawab untuk menafkahi istri, sehingga apabila tidak memiliki penghasilan untuk menafkahi istri, maka makruh untuk menikah.
Keempat, mubah. Jika tidak ada hal-hal yang mendorong seseorang untuk menikah dan tidak ada pula yang mencegahnya, maka baginya menikah hukumnya adalah mubah. Dia tidak dianjurkan untuk menikah dan juga tidak ada larangan untuk menundanya.
Kelima, haram. Menikah haram hukumnya bagi seseorang yang tidak bisa memenuhi nafkah untuk istrinya, baik nafkah materi maupun batin. Jika menikah akan merugikan dan menelantarkan istrinya atau akan mendorong dirinya untuk mencari nafkah dengan cara yang dilarang oleh Allah, seperti mencuri dan lain sebagainya, maka haram baginya untuk menikah. Agar terhindar dari perbuatan zina, dia hanya dianjurkan untuk menahannya dengan cara berpuasa, bukan dengan menikah, sebagaimana pesan Nabi Saw. berikut:
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).”
Pembahasan berlanjut pada topik poligami dengan mengutip beberapa Referensi kitab Klasik. Menurut Izzuddin bin Abdis Salam, dalam syariat Nabi Musa AS, laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan tanpa batasan jumlah untuk menjaga kemaslahatan kaum laki-laki. Hal ini berkaitan dengan situasi pada masa itu, di mana Fir’aun memerintahkan pembunuhan massal terhadap bayi laki-laki karena takut akan lahirnya seorang laki-laki yang diramalkan akan menggulingkan kekuasaannya. Akibatnya, jumlah laki-laki menjadi sangat sedikit, dan poligami tanpa batas diperbolehkan untuk menyeimbangkan populasi dan memenuhi kebutuhan sosial.
Berbeda dengan syariat Nabi Musa, syariat Nabi Isa AS mengharuskan monogami, di mana laki-laki hanya diperbolehkan menikah dengan satu perempuan. Kebijakan ini diambil untuk menjaga kemaslahatan kaum perempuan, terutama karena Nabi Isa lahir tanpa ayah. Syariat ini bertujuan untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan perempuan, memastikan bahwa mereka tidak dieksploitasi dalam pernikahan. Sebagai penyempurna syariat, Nabi Muhammad SAW menengahi dua syariat terdahulu dengan memperbolehkan poligami, tetapi dengan batas maksimal empat istri. Menurut Imam Al-Bajuri dalam Hasyiyah Al-Bajuri, pembatasan ini didasarkan pada keyakinan bahwa seorang laki-laki memiliki empat karakter yang memungkinkan untuk membagi cinta dan perhatian secara adil kepada empat perempuan. Melebihi jumlah ini akan mengakibatkan ketidakadilan, sehingga batas maksimal empat istri dipandang sebagai keseimbangan optimal antara kebutuhan laki-laki dan keadilan bagi perempuan.
Selain itu, kelas ini juga membahas mengapa para elite agama, baik yang saleh maupun alim, sering kali mempraktikkan poligami. Hal ini dijelaskan dalam Tafsir Al-Qurthubi, yang menyatakan bahwa orang yang benar-benar bertakwa justru memiliki syahwat yang lebih besar. Ini karena orang yang tidak bertakwa sering kali melampiaskan syahwatnya dengan cara memandang dan menyentuh hal-hal yang haram, yang mengakibatkan gairah seksualnya cenderung menurun. Sebaliknya, orang yang bertakwa tidak memandang atau menyentuh hal yang tidak halal baginya, sehingga syahwatnya terpendam dan terakumulasi dalam dirinya, yang kemudian membuatnya lebih banyak melampiaskan kebutuhan seksualnya dalam pernikahan. Pandangan ini memberi perspektif tentang mengapa para ulama atau orang saleh yang menjaga pandangan dan perilakunya sesuai dengan syariat, mungkin cenderung lebih sering menikah atau mempraktikkan poligami.
Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab yang berlangsung dengan antusias. Para peserta menunjukkan minat besar dalam memahami hukum poligami dan monogami, serta bagaimana ketentuan ini relevan dalam konteks kehidupan mereka saat ini. Muhammad Sibawaihi, M.H., menjawab setiap pertanyaan dengan merujuk pada berbagai teks klasik dan pandangan ulama, memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam. Kegiatan ini tidak hanya memperkaya pengetahuan peserta mengenai hukum pernikahan dalam Islam, tetapi juga menekankan pentingnya memahami syariat dalam konteks historis dan sosialnya. Para mahasiswa dan mahasiswi diharapkan dapat mengaplikasikan wawasan yang diperoleh dengan bijak dalam kehidupan sehari-hari, menjaga keseimbangan antara kewajiban agama dan tuntutan zaman.